Karya Pram yang penuh dengan kritik sosial membuatnya sering keluar masuk penjara. Pram pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa orde lama. Kemudian selama orde baru ia ditahan selama 14 tahun sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.
Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan seringkali ditempatkan di Jakarta di akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen dan buku sepanjang karier militernya dan dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia kemudian tinggal di Belanda sebagai bagian program pertukaran budaya, dan saat kembali ia menjadi anggota Lekra, organisasi sayap kiri di Indonesia.
Beberapa karya Pram dilarang untuk dipublikasikan karena dianggap mengganggu keananan negara pada masa pemerintahan Presiden Soekarno maupun Soeharto. Misalnya pada tahun 1960-an, ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-komunis Tiongkoknya. Bukunya yang berjudul Hoakiau di Indonesia dicabut dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia. Meskipun demikian, Pram mendapatkan banyak penghargaan dari lembaga-lembaga di luar
21
negeri. Potret kehidupan Pram yang dibenci di negeri sendiri tetapi dihargai dunia membuatnya tetap optimis dan tidak pernah berhenti berkarya.
Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award pada 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat ‘protes’ ke yayasan Ramon Magsaysay. Beberapa dari tokoh-tokoh tersebut antara lain adalah Taufiq Ismail, Mochtar Lubis, dan HB Jassin. Tokoh-tokoh tersebut protes karena Pram dianggap tidak pantas untuk menerima penghargaan Ramon Magsaysay. Dalam berbagai opini-opini di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Mereka menuntut pertanggungjawaban Pram untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran ‘tidak terpuji’ pada ‘masa paling gelap bagi kreativitas’ pada zaman Demokrasi Terpimpin. Semenjak orde baru Pram memang tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran.
Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Tepatnya pada 27 April 2006 kesehatan Pram memburuk. Ia didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah dijangkitnya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Upaya keluarga untuk merujuknya ke rumah sakit tidak membawa banyak hasil, malah kondisinya semakin memburuk dan akhirnya meninggal pada 30 April 2006 di Jakarta.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar novel. Unsur-unsur tersebut secara tidak langsung memengaruhi keutuhan sebuah novel. Unsur-unsur ekstrinsik yang terdapat dalam novel “ MIDAH Si Manis Bergigi Emas” sebagai berikut.
1. Biografi Pengarang
Pramoedya Ananta atau yang lebih akrab disapa Pram adalah salah satu sastrawan besar yang pernah dimiliki oleh Indonesia. Putra sulung dari seorang kepala sekolah Institut Budi Oetomo ini telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan dalam 41 bahasa asing.
Pram yang pernah bekerja sebagai juru ketik dan korektor di kantor berita Domei (LKBN ANTARA semasa pendudukan Jepang) memantapkan pilihannya untuk menjadi seorang penulis. Ia telah menghasilkan artikel, puisi, cerpen, dan novel sehingga melambungkan namanya sejajar dengan para sastrawan dunia.
2. Nilai yang Terkandung dalam Novel
a. Nilai Agama
•Dan Hadji Abdul tidaklah merugi tiap hari mengucapkan syukur kepada Tuhannya yang telah begitu murah terhadapnya memberinya segala kesenangan dan kenikmatan yang sejak kecil di dambakannya. (Halaman 10)
•Ia tetap percaya kepada kemurahan Tuhannya dalam usaha yang baik dan jujur. (Halaman 10)
•BeberapaBeberapa malam ia tidak bisa tidur, dan untuk membohongi tuntutan keimanannya dari kemungkinan murka Tuhannya, ia terus-menerus berzikir. (Halaman 12)
•Bapaknya mendoakan, dan Tuhan mengabulkan. (Halaman 73)
•Akhirnya semua orang yang biasa dalam ruang itu mengetahui keadaan Hadji Abdul dari cepat tidaknya jari-jari itu mendorong-dorong buah tasbih. (Halaman 73)
•Perasaan syukur kepada Tuhannya karena telah diberi keselamatan waktu melahirkan, kini datang kembali. (Halaman 104)
• Tuhan, beri aku kekuatan. (Halaman 114)
b. Nilai Sosial
• Ia perlakukan semua mereka dengan lemah-lembut dan ia beri mereka upah yang patut. (Halaman 10)
• Bapak hanya datang sebentar membawakan kue. (Halaman 15)
• Tapi babu memberi perlindungan anak itu satu perlindungan yang kuat. (Halaman 19)
• Berulang-ulang ia mengungkapkan terimakasih atas pertolongan perempuan yang hanya percaya kepada kebaikan itu. (Halaman 27)
• Dengan relanya Riah kadang-kadang datang membantu menyelenggarakan dapur. (Halaman 75)
• Dan anak itu memapahnya. (Halaman 100)
c. Nilai Budaya
• Waktu anak kedua lahir, sekali lagi diadakan pesta besar yang menyita banyak sekali dana persediaan uangnya. (Halaman 13)
•Kemarin anaknya diselamatkan dan dinamai Rodjali. (Halaman 89)
•Sekarang hadji yang diharapkan itu datang melamar pada bapakmu. Ia punya sawah banyak, kerbau berpuluh-puluh, ibadatnya kuat. Ah, engkau akan mendapat suami yang baik, yang takut pada Tuhan. (Halaman 20)
d. Nilai Estetika
• Suaramu bagus, Manis. (Halaman 78)
• Dan terbayang di matanya perawan manis dan cantik yang beberapa tahun yang lalu masih bergaun pendek dan berkerudung putih. (Halaman 97-98)
• Lalu lintas disekililingnya, bahkan gedung-gedung yang megah mengapit jalan raya yang dilaluinya, hilang tidak nampak sedikitpun. (Halaman 140)
e. Nilai Moral
• Kehidupan bebas selama ini menyebabkan wanita ini berubah menjadi seorang yang bebas dalam percakapan, sekalipun berpegangan pada norma-norma kesusilaan yang dibawanya dari rumah. (Halaman 80)
• Kesusilaan dan ketertiban peradaban antara baik dan buruk yang dibawanya dari rumahnya, kini tidak membangkitkan pikiran lagi padanya. (Halaman 132)
c. Unsur kebahasaan
- Gaya Bahasa Perbandingan
Perumpamaan
Dan biarlah gunung dalam hatinya tetap agung tidak terganggu oleh apapun juga. (Halaman 83)
Di tangan lelaki ini Mudah tak ubahnya dengan sejumput tembakau. (Halaman 20)
Ia merasa sebagai sebatang Tunggul terpancang di tengah-tengah Padang. (Halaman 21)
Gigitan dalam hati nyonya Abdul tak tertahan lagi bagi jantungnya. (Halaman 102)
Berpasang-pasang mata yang memandangnya seperti hendak mengorek isi dadanya. Halaman 113)
Personafikasi
Dan dengan diam-diam mereka meneguk habis seluruh rangkaian suara yang keluar dari rombongan pengamen ini. (Halaman 17)
Begitu digunakan! Teriak hatinya. (Halaman 29)
Kalimat yang berulang-ulang itu tidak mematahkan harapannya. (Halaman 75)
Kalau hatinya tidak bergerak, biarlah hatiku sendiri yang goncang. (Halaman 82)
Simile
1)Sekarang didekatnya mengembik-ngembik kuda kacang ingin menggantikan benteng liar. (Halaman 38) - Gaya Bahasa Pengulangan
a. Anafora
Ia bisa dipilin pendek dipilin panjang dipilin dalam berbagai bentuk. (Halaman 20-21)
Jadi pengamen keroncong! Jadi doger!
Ah,itu musik! Itu lagu! Itu keindahan! Itu kebebasan,keriangan, kebahagiaan terkurung dalam ketundukan manusia yang tergila nafsu-nafsunya. (Halaman 29)
Dia juga butuh hidup, dan anak kecil itu juga butuh hidup. (Halaman 60)
3.Gaya Bahasa Pertautan
a. Sarkasme
1) Babi-babi itu tidak mengerti musik(Halamann 33) - Gaya bahasa pertentangan
Hiperbola
Giginya putih gemerlapan. (Halaman 25)
Dengan senyummu itu runtuh lah iman lelaki yang melihat. (Halaman 25)
Dan karena engkau begini manis, memang cocok pantun Min tadi.
Kini dia berhadapan dengan tenaga gila yang dibuat darah yang sedang mendidih.
Begitu sakit terasa di dalam dada. (Halaman 127) - Gaya Bahasa Penegasan
a. Klimaks
1) Dengan keputusan itu hilang lenyap seluruh kesedihannya, perasaannya akan kegoyahan nasibnya, ketakutan dan keliarannya. (Halaman 26)